Oleh Raja Maspin Winata
Program Studi Magister Psikologi. Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara Jakarta, 2023
Tahun politik sudah menjelang dan pengentasan kemiskinan kembali menjadi isu dan jargon politik yang tidak pernah usang. Seluruh tiga pasangan bakal Capres dan Cawapres pada Pemilu 2024 menargetkan pengentasan kemiskinan kedalam misi, program prioritas, maupun target pembangunan yang menjadi janji politik mereka.
Kemiskinan memang merupakan isu krusial yang menjadi target pembangunan seluruh negara di dunia. Pepatah kuno oleh Lao Tzu menyatakan bahwa “perjalanan seribu mil dimulai dengan satu langkah”, maka sebelum membahas pengetasan kemiskinan, langkah awal dalam mebahas isu ini adalah dengan mengetahui apa yang dimaksud kemiskinan. Apa yang mempengaruhinya? Apa dampak dari kemiskinan? Bagaimana penanganan kemiskinan yang sesuai? Tentu tulisan yang singkat ini tidak dapat membahas dan menjawab semua hal tersebut dengan komprehensif, penulis hanya ingin mengajak pembaca untuk melihat dari perspektif sisi keilmuan yang penulis ditekuni yakni psikologi; bagaimana sumbangsih ilmu psikologi dalam isu kemiskinan.
Kesan pertama yang ditangkap dari kata kemiskinan seakan-akan hanya terkait pada masalah ekonomi, hal ini dikarenakan dimensi ekonomi merupakan hal yang paling mudah diamati, diukur dan diperbandingkan.
Kemiskinan juga dapat diartikan sebagai kondisi ketika seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar dan sejalan dengan definisi tersebut, Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach) untuk mengukur kemiskinan, konsep ini mengacu pada Handbook on Poverty and Inequality yang diterbitkan oleh Worldbank.
Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran, penduduk juga dikategorikan sebagai penduduk miskin jika memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.
World Population Review menyatakan bahwa negara terkaya sekalipun (GDP per kapita tertinggi) tidak sepenuhnya bebas dari kemiskinan, karena kemiskinan bisa terjadi bahkan di negara-negara berpendapatan tinggi, namun sering kali kemiskinan berada pada tingkat yang lebih rendah dan tidak meluas. Hal ini menjadi menarik seakan-akan menegaskan bahwa kemiskinan tidak hanya tentang dimensi ekonomi saja. Hal tersebut sejalan dengan definisi kemiskinan yang diadopsi pada tahun 1995 setelah Konferensi Tingkat Tinggi Dunia tentang Pembangunan Sosial yang diadakan di Kopenhagen, Denmark “suatu kondisi yang ditandai dengan hilangnya kebutuhan dasar manusia secara parah.
Termasuk makanan, air minum yang aman, fasilitas sanitasi, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan dan informasi, hal ini tidak hanya bergantung pada pendapatan tetapi juga pada akses terhadap layanan, yaitu secara umum terdapat berbagai sudut pandang tentang konsep kemiskinan. Karena kemiskinan dapat dipandang sebagai fenomena yang bersifat multidimensional.
Adapun konsep kemiskinan objektif dan subjektif, ada pula kemiskinan absolut dan relatif, serta pandangan bahwa kemiskinan sebagai keterbelakangan fisiologis dan sosiologis. Oleh karena itu kompleksitas dari isu kemiskinan dibutuhkan pendekatan interdisipliner yang sesuai dalam penanggulangan atau pengentasan kemiskinan. Terkait dengan hal tersebut, terdapat Pengukuran Kemiskinan Multidimensi atau Multidimensional Poverty Measure (MPM) yang terdiri dari enam indicator yaitu konsumsi atau pendapatan, pencapaian pendidikan, partisipasi pendidikan, air minum, sanitasi, dan listrik.
Indikator ini dikelompokan ke dalam tiga dimensi kesejahteraan yakni dimensi moneter, pendidikan, dan layanan infrastruktur dasar, indeks ini mengukur persentase rumah tangga di suatu negara yang mengalami kekurangan dalam tiga dimensi tesebut, indeks ini juga muncul sebagai jawaban atas isu kemiskinan yang kompleks dengan mempertimbangkan dimensi kesejahteraan secara umum dan tidak hanya sekadar kemiskinan moneter.
Kemiskinan juga dapat menghalangi individu dalam mengoptimalkan potensi diri dan menjalani kehidupan yang memuaskan, yaitu Coggins (2011) berpendapat bahwa terdapat sepuluh faktor penyebab dari kemiskinan yakni kondisi ekonomi suatu daerah, negara ataupun global, etos kerja individu, faktor perceraian atau orang tua tunggal, garis keturunan atau “warisan”, kebijakan pemerintah dan korupsi, faktor ukuran keluarga, kondisi kesehatan individu, kejadian perang saudara, penjajahan dan adiksi.
Selain itu, Confronting Poverty (2020) juga berpendapat bahwa terdapat factor-faktor penyebab dari kemiskinan yaitu pendidikan, usia, status perkawinan, ras, gender, lapangan pekerjaan dan kegagalan kebijakan pemerintah. Kemiskinan pada dasarnya juga disebabkan oleh kegagalan ekonomi dan tingkat politik bukan semata-mata karena kekurangan individu (seperti kurang bekerja keras, tidak termotivasi).
Hal ini menunjukkan bahwa solusi terhadap kemiskinan dapat ditemukan pada akses atas pekerjaan dengan upah yang layak, mendapat dukungan layanan kesehatan dan pengasuhan anak yang baik, dan memiliki akses terhadap pendidikan yang unggul. Kebijakan-kebijakan ini harus dibawa dalam perspektif kebersamaan yang berarti bahwa kemiskinan bukanlah masalah “mereka” namun adalah masalah “kita” (Confronting Poverty, 2020).
Lantas mengapa kemiskinan perlu ditangani? Apa dampak dari kemiskinan sehingga hal ini menjadi isu krusial yang menjadi target pembangunan seluruh negara di dunia dan menjadi janji-janji politik para calon pemimpin? Confronting Poverty (2020) menjelaskan bahwa status ekonomi yang rendah seperti kemiskinan dikaitkan dengan angka harapan hidup, dan risiko kesehatan yakni peningkatan angka penyakit jantung, diabetes, hipertensi, kanker, kematian bayi, penyakit mental, kekurangan gizi, keracunan timbal, asma, dan masalah gigi. Heine (2015) juga menyatakan bahwa status ekonomi sangat berkaitan erat dengan masalah kesehatan.
Mereka yang mengalami kemiskinan cenderung memiliki kemampuan kognitif yang kurang dalam mengambil keputusan terkait perilaku yang dapat membahayakan Kesehatan, orang miskin cenderung mengalami stress yang tinggi dikarenakan sibuk dengan penghidupan sehari-hari yang tak jarang butuh usaha yang sulit dibandingkan mereka yang tidak miskin.
Kemiskinan juga bukanlah masalah “mereka” namun adalah masalah “kita”, hal ini dapat dilihat dari dampak dari kemiskinan yang esktrem dapat mempengaruhi masyarakat secara umum bukan hanya sebagian. Kemiskinan dapat berdampak secara buruk pada tingkat kriminalitas, aksesibilitas layanan kesehatan, hubungan (antar kelompok/ras/agama) dalam bermasyarakat, produktifitas pekerja dan sebagainya yang secara langsung terkena dampak dan diperburuk oleh kondisi kemiskinan (Confronting Poverty, 2020).
Penanggulangan atau pengentasan kemiskinan dengan menjamin sarana dan prasarana dasar untuk kelangsungan hidup layak dapat menunjang pertumbuhan ekonomi, stabilitas sosial dan kesejahteraan umum suatu negara. Dalam mengatasi suatu isu, tentu dibutuhkan perencanaan kebijakan yang matang yang dituangkan dalam suatu kerangka kerja.
Kerangka kerja ini dapat membantu pemangku kepentingan dalam berpikir secara sistematis dan analitis untuk mengidentifikasi strategi yang paling efektif dalam mencapai tujuan yang ditargetkan, yaitu pengentasan kemiskinan, 0% kemiskinan ekstrem dan sebagainya. Perlu ditegaskan bahwa dalam penangangan kemiskinan, pendekatan interdisipliner adalah pendekatan yang paling tepat menimbang kompleksitas permasalahan dan kemiskinan yang sifatnya multidimensi.
Diketahui, Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan regulasi berupa Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem sebagai wujud keseriusan pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan terutama mereka yang berada pada kerak kemiskinan dan diproyeksi angka kemiskinan ekstrem akan mendekati nol persen pada tahun 2024.
“Kemiskinan ekstrem didefenisikan sebagai kondisi ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar yaitu makanan, air bersih, sanitasi layak, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan dan akses informasi terhadap pendapatan dan layanan social,” jelas Raja.
Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (PPKE) adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara.
Strategi kebijakan tersebut yang meliputi pengurangan beban pengeluaran masyarakat melalui pemberian bantuan sosial, jaminan sosial dan subsidi yaitu kelompok program/kegiatan, peningkatan pendapatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat dan penurunan jumlah kantong-kantong kemiskinan melalui pembangunan infrastruktur pelayanan dasar.
Tentunya dalam rangka mewujudkan strategi tersebut diperlukan sinergi, konvergensi atau keterpaduan dimana pendekatan atau penyampaian intervensi dilakukan secara terkoordinir dan terintegrasi secara bersama-sama oleh para pemangku kepentingan untuk menyasar penerima manfaat. Terlihat bahwa arah kebijakan tersebut telah mempertimbangkan aspek multidimensional (struktural, moneter, non-moneter) dari kemiskinan.
Karena secara umum untuk dapat mengatasi kemiskinan kita dapat fokus pada apa yang bisa kita lakukan sebagai sebuah bangsa untuk mengurangi tingkat kemiskinan di negara ini, dan kita dapat melihat apa yang dapat kita lakukan sebagai individu untuk mengurangi peluang kita mengalami kemiskinan. Tentunya mereka yang berhubungan langsung dengan proses perencanaan, implementasi dan evaluasi dari kebijakan tersebut lebih relevan untuk fokus pada pembahasan isu di tingkat bangsa dan negara.
Penulis pada kesempatan ini akan berfokus pada sesuatu yang dibawah kontrol individu (masyarakat secara umum). Lalu bagaimana ilmu psikologi dapat berkontribusi pada pengetasan kemiskinan? Confronting Poverty (2020) menyatakan bahwa mereka yang memiliki human capital yang lebih baik (dalam hal pendidikan, keterampilan, pelatihan, dll.) cenderung lebih kompetitif di pasar tenaga kerja, dan sebagai hasilnya risiko mengalami kemiskinan karena pengangguran maupun upah rendah akan lebih rendah.
Sebagai individu kita juga perlu menyiapkan dana darurat untuk mengatasi hal diluar kendali seperti guncangan ekonomi dengan menyiapkan asuransi atau menabung sebagian dari penghasilan. Dalam hal ini, sinergi dan konvergensi oleh pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan dapat diwujudkan dengan memfasilitasi, mendukung terciptanya lapangan kerja yang sehat dan edukasi finansial yang tepat guna dan tepat sasaran.
Kebijakan yang menunjang akumulasi sumber daya manusia dapat mendukung pengentasan kemiskinan (Srinivasan, 2004), berbicara tentang human capital tentu terdapat sisi personal (personal resources) yang dapat dikembangkan yakni psychological capital (modal psikologis), modal psikologis didefinisikan sebagai keadaan perkembangan psikologis positif individu yang ditandai dengan rasa memiliki kepercayaan diri untuk mengambil dan melakukan upaya yang diperlukan agar berhasil dalam tugas-tugas yang menantang, mampu membuat atribusi positif mengenai keberhasilan saat ini dan masa depan memiliki ketekunan untuk mencapai target dan apabila diperlukan ia mampu mengarahkan ulang jalan menuju tujuan agar berhasil dan ketika dilanda masalah dan kesulitan, ia memiliki kemampuan bertahan dan bangkit kembali dan bahkan melampaui permasalahan tersebut untuk mencapai kesuksesan (Luthans et al., 2007).
Modal psikologis memiliki empat dimensi yang dapat menjelaskan aspek positif dari setiap individu. Adapun dimensi tersebut terdiri dari Harapan (hope), merupakan motivasi positif yang dimiliki oleh seorang individu dalam mencapai kesuksesan untuk meraih target yang sesuai dengan rencana, efikasi diri (self-efficacy), merupakan kepercayaan diri individu terhadap kemampuan diri untuk mengatur motivasi, sumber daya kognitif diri, dan kemampuan untuk melakukan tindakan penting dalam menyelesaikan tugas, resiliensi (resiliency), merupakan kapasitas individu untuk bangkit kembali atas kegagalan, masalah, perubahan yang baik, perkembangan dan peningkatan tanggung jawab atas dirinya dan optimisme (optimism), merupakan suatu bentuk tanggung jawab dan adaptasi seorang individu yang memiliki kemampuan untuk mempertimbangkan dan mempelajari keadaan baik dan buruk seperti memahami penyebab dan konsekuensinya sebelum mengalami kegagalan dan menerima kesuksesan (Luthans et al, 2007).
Stress merupakan salah satu variabel psikologis yang terlibat sebagai mediator antara status sosial ekonomi (kesejehtaraan) dengan dampak kesehatan (Marmot; Sapolsky dalam Heine, 2015). Modal psikologis dapat mengurangi penanggulangan stress yang maladaptif (maladaptive coping) dan tingkat stress itu sendiri (Maykrantz et al., 2021). Individu dengan tingkat modal psikologis yang tinggi dapat mempengaruhi keterikatan kerja, lalu kinerja secara positif (Abukhalifa et al., 2022).
Hal ini menunjukkan bahwa modal psikologis secara langsung (SDM yang unggul, mengurangi kemungkinan pengangguran) dan tidak langsung (menanggulangi stress yang merupakan mediator antara masalah kesehatan dan kesejahteraan) dapat berhubungan dengan aspek – aspek dalam penanggulangan kemiskinan. Ohlin (2017) mengungkapkan terdapat beberapa cara untuk meningkatkan modal psikologis, untuk meningkatkan dimensi harapan individu harus memiliki tujuan dan menyesuiakannya dengan kemampuan masing-masing.
Tujuan tidak selalu terkait dengan tugas pekerjaan namun dapat terletak pada perubahan perilaku atau keadaan emosi yang diinginkan, dalam konteks isu kemiskinan (rokok sebagai salah satu komponen garis kemiskinan makanan) mungkin anda yang perokok dapat mulai menargetkan untuk berhenti merokok dengan ditargetkan secara progresif dan perlahan agar rasa percaya diri bahwa diri mampu berhenti merokok dapat terjadi. Esensi dari meningkatkan dimensi harapan dari modal psikologis adalah bahwa individu ingin dan mampu mencapai tujuan yang telah ditetapkan sehingga perubahan perilaku dapat terjadi. Motivasi juga diperlukan dan dapat dicapai dengan edukasi bahwa rokok merupakan sesuatu yang membahayakan kesehatan dan sesuatu yang membebani kemampuan finansial secara signifikan.
Hal ini dapat diimplementasikan dalam berbagai konteks sesuai kebutuhan peningkatan kualitas individu seperti membentuk kebiasaan baru dalam belajar bahasa, kemampuan regulasi emosi, kebiasaan membaca, maupun kemampuan teknis lainnya. Untuk meningkatkan dimensi efikasi diri, pertama kita dapat fokus pada kesuksesan masa lalu atau mastery experiences dimana pengalaman keberhasilan kita menguasai suatu keahlian bukan hanya semata-mata dikarenakan oleh faktor eksternal atau keberuntungan melainkan terdapat upaya diri.
Kedua, kita dapat melakukan social modelling atau meniru orang lain yang memiliki situasi yang sama dan bagaimana mereka berhasil mengatasi permasalahan yang dihadapi akan meningkatkan efikasi diri bahwa kita pun dapat melakukannya. Ketiga, sebagai pemimpin atau rekan kita dapat melakukan social persuasion dengan memberikan umpan balik yang positif atas keberhasilan (tugas maupun kebiasaan positif baru) atau mengkondisikan situasi yang kondusif untuk kesuksesan dengan mengarahkan diri atau orang lain sesuai dengan kemampuan mereka (menghindari situasi yang secara prematur dapat membuat orang lain gagal dan tidak percaya diri) seperti tidak memaksakan perokok berat untuk berhenti merokok secara total dalam waktu satu hari.
Terakhir, membingkai ulang pengalaman negatif atau respon psikologis sebagai sesuatu yang positif dapat meningkatkan efikasi diri. Sering kali kecemasan dan situasi menengangkan dilihat sebagai suatu ancaman dan situasi rentan. Orang dengan tingkat efikasi diri yang tinggi mampu melihat respon tersebut sebagai tanda antisipasi, semangat yang dapat menjadi fasilitator kinerja atau keberhasilan dalam perubahan perilaku misalkan ketika seseorang dipanggil untuk memberikan public speaking, ia akan merasakan kecemasan dan apabila diartikan secara positif dan bahwa semua orang mengalami kecemasan dan hal tersebut merupakan tanda antisipasi, semangat maka kemungkinan keberhasilan orang tersebut dalam berpidato akan meningkat dan akan meningkatkan efikasi dirinya.